Rabu, 01 September 2010

Dalam Hujan Aku Mencintaimu


03.41 | , ,

Penulis: Itara Azkiya

Fajar menyingsing sempurna. Keindahan itu tak sebanding dengan bahagianya hati ini mencintai Dema. Mungkin itulah, mengapa Tuhan menegurku. Setiap hati ini mengingat Dema begitu dekat, Tuhan selalu menegurku.
Entahlah…, aku tahu Tuhan itu pencemburu. Makanya, kerap aku jalan dengan Dema, Tuhan menyambutnya dengan hujan. Cemburukah Tuhan pada Dema? Mungkin lelaki itu terlalu besar memiliki ruang di hatiku. Sisanya baru Tuhan.
Agaknya, Tuhan tak mau kuberi ruang sisa. Ia selalu menegurku dengan hujan, saat hati ini sangat mencintai Dema. Aku tak habis pikir pada Tuhan, mengapa semarah itu  melihat kedekatanku dengan Dema. Apa salahku dan Dema?
Suatu pagi, Dema membuatkan aku susu. Sementara badanku masih lelah bekas begadang semalam.
“Selamat pagi, Sayang…!” sambut Dema sambil mengecup keningku.

Aku tersipu melihatnya telah siap berangkat kerja. Padahal aku belum sempat menyeterika baju kerjanya, belum sempat menyiapkan sarapan untuknya, bahkan aku sendiri belum siap apa-apa. Masih terbaring di tempat tidur dengan rona sangat malas.
“Sayang, maaf…”
“Ssst…kamu tidur saja.  Nih, aku buatkan susu biar kamu ada tenaga. Baik-baik di rumah ya, Sayang, suamimu ini pergi sejenak mencari emas buat makan,” kata Dema sembari mengecup keningku lagi. Senyumnya bak telaga yang menghangatkan jiwa. Tangannya yang kasar berbanding terbalik dengan sentuhan yang kurasakan. Begitu lembut.
Dema tak pernah banyak menuntut. Ia suami  yang sangat bertanggung jawab. Itulah sebab mengapa aku amat mencintainya, mungkin dengan porsi yang sangat berlebihan sehingga ruang di hati ini tak begitu banyak menyimpan Tuhan.
Pun cinta yang kutanam bersama Dema, berbunga di hati kami berdua. Tapi, tidak bagi orang lain, termasuk di mata orang tuaku. Mungkin bunga itu kering dan berguguran di mata mereka.
Ya, Dema memang hanya seorang pekerja kasar. Sementara aku hanya bisa mengandalkan hidup dari hasil menjual tulisanku. Itu pun tak tentu.
Kehidupanku dan Dema bagai dua sisi mata uang yang terkadang berubah-ubah. Sedih dan senang. Sedih kusebut hujan, dan senang kunamai fajar sempurna.
Secara ekonomi, aku lebih  sering bertemu hujan dibanding fajar sempurna. Namun  fajar sempurna sering aku jumpai dalam gairah hidup. Aku senang jika bersama Dema, walau dalam kondisi apapun. Dema memiliki gairah hidup yang tinggi.
Meski dari awal, orang tuaku tak pernah setuju jika aku menikah dengan Dema, tapi itu tak membuat cintaku pudar dan keputusanku surut untuk berlayar menuju bahtera bahagia bersama kapal yang kami buat bersama.
Dan kapal itu kunamai perahu emas. Dema nahkoda dan aku adalah perahunya. Perahu akan turut kemana nahkoda membawanya pergi bukan? Terkadang badai di tengah perjalanan sering hinggap, tapi Dema pantang menyerah, ia selalu berusaha membawaku sampai pada tepi. Tepi yang kuinginkan untuk bersandar. Dan aku begitu nyaman.
Dari hujan, aku belajar mencintainya. Mencintai suamiku dalam kondisi apapun. Dari tangannya yang kasar, dari nafasnya yang lelah, dari pemberiannya yang emas. Dari hujan aku belajar bagaimana untuk tersenyum, menjadi tegar, berkorban dan berbagi bersama Dema.
“Bagaimana kau bisa bahagia, Nak, jika kau hidup di rumah kontrakan yang sempit ini? Keluarlah, kembalilah bersama kami. Hidupmu akan terjamin dengan fasilitas mewah yang biasa kau dapatkan,” tutur ayahku di awal pernikahanku bersama Dema.
Benarkah Tuhan mengutuk anak yang memutuskan untuk menikah dengan pilihannya sendiri? Benarkah pula, kemapanan yang dapat membeli kebahagiaan di dunia ini? Benarkah…
Oh Tuhan…, dengan hujan Kau menegurku, tapi dalam hujan aku semakin mencintai suamiku. Tak bermaksud aku durhaka pada orang tua, jika alasan mereka menolak Dema bukan karena Dema belum mapan, mungkin bisa kuterima. Tapi ini lain…!
Cintaku pada Dema kurajut dalam mimpi. Mimpiku dan Dema adalah mempersembahkan perahu emas pada orang tua kami. Perahu itu dibalut oleh empat komponen yaitu doa, ikhtiar, optimis dan tawakal. Perahu itu dirancang mewah untuk menghadap Tuhan di tempat yang terbaik. Perahu itu akan membawa kami bertemu di taman firdaus yang sering kami adukan pada Tuhan. Kami rela, dalam perjalanan untuk mendapatkan itu kami sering kehujanan.
Dan Tuhan tak pernah tidur. Jika perahu emas kami diguyur Tuhan dengan hujan, Dema mengajariku untuk sabar dan syukur. Itulah yang membuatku bahagia bersama Dema. Sebesar apapun badai itu, kuyakin dapat kulalui  dengan perahu emasku.
“Ayah tak butuh perahu emas. Tapi ayah butuh Dema bisa membahagiakanmu dengan rumah yang layak beserta isinya. Apa itu salah?” Ayah kembali mengucilkan Dema di depanku.
“Apalagi, sekarang kamu sedang mengandung. Apa mau nanti anakmu terlahir di rumah kontrakan ini? Dan melihat betapa hidup ini nestapa? Betapa dunia ini menyedihkan?”
Ayah…Aayah…, tiada anak yang mau menyengsarakan anaknya. Begitupun aku. Batinku bertutur lirih, tanpa membuat bibir ini mengeluarkan kalimat itu di depan Ayah.
“Pulanglah, Nak. Melahirkan di rumah sakit saja dengan dokter keluarga yang profesional.” Kali ini Ayah merajukku, serius.
“Maaf, Ayah, ini adalah tanggung jawab suamiku. Biarkan ia yang mengurus itu semua. Ayah tak usah khawatir…”

“Kamu memang keras kepala! Mau diajak hidup enak kok susah…” tukas Ayah ketus sambil melengos pergi. Dan mungkin tak akan mengengokkan wajahnya lagi ke belakang.
Ayah… Ayah…, kau tak tahu bahwa saat ini anakmu amat bahagia. Tak peduli rumah kontrakan, bagiku yang penting adalah rasa.
Tak lama setelah Ayah pergi tanpa salam, awan yang sedari tadi mendung kini membuncah dingin. Hujan datang dengan deras disertai kilat yang menyala-nyala. Seperti biasa, jika hujan datang, rumah kontrakanku selalu kebocoran. Bahkan kebanjiran.
Rembesan air bak sungai yang tampak nyata mengalir di sudut-sudut dinding. Aku sibuk sendiri menyiapkan ember agar rembesan itu tidak membanjiri lantai. Namun, tiba-tiba perutku amat mulas dan sakit sekali, seperti akan ada yang mendorong bayiku keluar. Bahkan bayiku pun ikut berontak di dalam perut, hingga rasanya sangat kacau.
Aku berteriak sekencang-kencangnya menahan nyeri yang teramat, ketubanku pecah dan terlihat darah di sela-sela betis. Dalam panik, aku melirik jam. Dema baru akan pulang satu jam lagi. Oh Tuhan…
Gelap.
Itulah yang aku rasa saat beberapa waktu yang lalu. Tersadar, aku sedang berada dalam becak dalam pelukan yang hangat. Kuraba tangan kasar itu, tak salah lagi, itu adalah Dema.
“Sayang…, kamu baik-baik saja kan? Tadi aku melihatmu terbaring di lantai bersimpuh darah.”
Aku tersenyum menyadari aku masih hidup. Dan melihat Dema di sampingku.
“Ssst, cukup, jangan banyak bicara dulu. Kita akan ke rumah sakit,” katanya sambil menciumi kepalaku.
Rasanya ingin sekali mengatakan bahwa aku amat tenang di sampingnya. Tapi mulas ini seakan mengunci rapat bibirku. Aku hanya bisa mengerang kesakitan.
“Arrrrrghhhh…”
“Sayang…, sabar yah! Sebentar lagi kita sampai.” Dema terus menggenggam erat tanganku.
Sayang, aku mencintaimu. Meski dingin terus menerjang, awan berubah hitam, dan mataku sembab. Aku tetap mencintaimu. Sangat mencintaimu. Batinku berbisik dalam sakit.
Tuhan…, kini aku sadar bahwa hujan-Mu bukanlah teguran. Dalam hujan, rumah kontrakanku banjir, tapi Dema selalu tersenyum menghadapi itu. Itulah yang membuatku kuat. Kini dalam hujan, ia membawaku berjuang menghadapi hidup dan mati mempertahankan bayi ini. Itulah yang membuatku yakin bertahan.
Dan hujan, kerap meninggalkan jejak basah di hatiku, serupa gerimis yang mengalir pelan di pipiku saat itu.


You Might Also Like :


0 komentar:

Posting Komentar